Filosofi Udang Part 1

Aku, kamu dan logika kita mungkin memang berbeda.
Aku, kamu dan cerita kita ditemukan dalam kasih sayang semesta kita.
– Filosofi kopi – Glen Fredly feat Monitha dan Is

Seperti logika kita yang bertemu dari dunia yang berbeda namun bersatu karena cinta. Lucunya kita bertemu karena ketidak tarikan satu sama lain. Namun entah mengapa kita dapat bersatu hingga saat ini.

Kuingat malam itu di sebuah pesta pernikahan salah satu sahabat. Seorang pria dengan tergesa berlari-lari ke arahku dan kehilangan arah, dia timpa gelas yang ada ditanganku dengan lengannya. Basah semua gamis baru yang seminggu lalu kuambil dari bude penjahit langganan, tanpa meminta maaf, hanya tersenyum dan dia langsung bergegas pergi.

“Dasar pria aneh.” Tuturku dengan nada yang sangat perlahan.

Entahlah mengapa aku dipertemukan dengan dia, yang membuat aku semakin menimbun dendam kepada dia. Mungkin memang Allah izinkan kita bertemu lagi. Di pesta yang berbeda aku bertemu lagi dengan pria sedikit waras ini.

“Lagi!” Gumamku dalam hati.

Kesal sendiri jika aku teringat pria ini, semoga dia tidak membuat kekacauan lagi. Namun doaku tidak terkabul, kali ini dia menghancurkan selera makanku, bukan hanya itu dia juga menjatuhkan makanan yang paling aku suka dan jarang aku temukan di sebuah pesta pernikahan. Makanan terakhir ditanganku adalah udang panggang, yang dari aromanya saja sudah sangat menggugah selera. Tak sabar aku melahapnya.

“Brak!”

Suara piring yang aku pegang jatuh ke lantai. Berserakan beserta udang panggang terakhir yang aku dapat. Dan pria satu ini lagi ternyata.

“Lo lagi?!” Sambil sedikit menaikan suara dan mata sedikit membesar tatapannya aku berbicara dengan lantang.

“Oia. Sorry ya. Gue ga sengaja jatuhin udang panggang lu.” Wajahnya yang cukup serius kulihat kali ini. Begitu datar dan sepertinya tulus, entah mengapa aku iba melihat raut mukanya, jadi aku akan maafkan kelakuan makhluk yang mengesalkan kali ini.

“Boleh nggak sebagai gantinya gue ajak lu makan udang panggang di luar? Gue ada tempat makan langganan yang enak banget” Mukanya berubah menjadi anak manis yang baik-baik saja.

“Gila. Ini cowo macam apa sih? Ngeselin banget ditambah nggak jelas tapi bisa berubah 360derajat dalam beberap menit. Duh bunglon kali ya nih anak?” Gerendengan dalam hati yang nggak sesuai.

“Nggak salah denger kan gue? Pastiin lagi ajadeh daripada nggak beres nantinya.” Sahutku degan ketus.

“Enggak lah. Masa iya gw bercanda. Lu ada waktu kah sabtu depan?” Semakin gencar untuk memastikan aku bisa di ajak pergi makan di luar.

“Kalau lo serius, jemput gue di rumah dan izin ke bokap gue langsung. Ini alamat rumah gue.” Kartu nama ayah sudah mendarat ditangannya dan gue mau lihat seberapa berani sih ini anak, dugaanku dia tidak akan berani untuk datang ke rumah.

***

Waktu yang ditentukan oleh manusia ajaib ini datang. Yang aku mau lihat kali ini adalah keberaniannya dan keseriusannya, apa dia berani datang dan ketemu sama  ayah yang lumayan tegas. Let’s see.

Astagfirullah. Dia beneran nepatin waktunya buat datang dan ketemu bokap gue. Terlihat di depan pagar rumah, jazz merah terpakir dengan rapihnya. Aku terus mantau dia dari balik jendela kamar, dia terlihat rapih dengan mengenakan baju koko berwarna putih dengan bordir batik dan mengenakan celana berwarna cream, meski penampilannya sudah cukup rapih dan wajahnya sedap dipandang gue belum tergugah untuk memutuskan tertarik kepada dia.

“Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikumsalam. Ada perlu apa datang kesini?” Ayah langsung menemui dia.

“Iya pa. Saya mau bertemu dengan Pak Ahmad.” Terdengar dari dalam tutur katanya cukup sopan berbicara pada Ayah.

“Ya. Silahkan masuk.” Ayah berjalan ke arah pintu dan membukakan untuknya.

“Terima kasih pa telah memberi saya kesempatan bisa berbincang dengan bapak lebih lama.” Sahutnya.

“Jadi maksud adek kesini ada apa?” Ayah langsung ke inti pembicaraan.

Dari dapur aku langsung menyiapkan dua gelas sirup jeruk untuk ayah dan dia, aku mengantarkannya dengan rasa sedikit tidak nyaman. Perlahan berjalan menuju ruangan depan aku memperlambat langkahku, kuperhatikan wajahnya secara seksama, lagi dan lagi. Aku masih bingung pria ini berasal dari mana dan kenapa bisa berani bertemu Ayah. Sungguh ini membuat aku bingung.

“Ini airnya, diminum dahulu.” Aku mempersilahkan bapak dan dia minum.

“Terima kasih.” Sahutnya

“Iya Mba, makasih ya.” Ayah melanjutkan pembicaraan.

“Jadi begini pa. Saya berniat untuk melamar anak bapak. Mohon maaf jika saya langsung ke pembicaraan inti pa. Saya ingin melaksanakan ibadah bersama anak bapak. Saya Jatuh hati sejak pertama melihat anak bapak.” Saat berbicara dia terus mengepal kedua tangannya.

“Apa yang membuat kamu tertarik pada anak saya? Bukankah belum lama bertemu dengan anak saya?” Pembicaraan ini agaknya akan alot.

“Saya bertemu dengan anak bapak memang di acara malam itu, namun itu bukan pertama kalinya. Sudah yang ketiga kalinya dan saya sudah sejak enam bulan terakhir ada dalam sebuah grup whatsapp yang sama dengan puteri bapak, saya memantau dari sana dan puteri bapak saya yakin dapat menjadi ibu yang baik untuk anak saya kelak pa.”

“Hah? Dia satu grup sama aku? Di grup apa? Beneran ini tuh misterius banget.”

Dengan begitu antusias dan tergesa karena penasaran aku cek satu persatu grup yang ada di gup. Mulai dari angkatan sekolah dia nggak ada, angkatan kampus nggak ada juga secara aku kenal hampir satu isi grup itu, ke grup kerjaan juga nggak ada kayaknya. Tapi, ada yang belom kucek.

“Umrah Backpacker,” aku kaget dengan teriakanku sendiri, “Jangan-jangan dia disana.” Langsung aku scroll satu persatu wajah yang ada disana. Dan, dia ternyata memang benar ada disana. Kenapa baru sekarang ini orang pasang fotonya, perasaan kemaren nggak pernah pasang PP. Kalau dengan dia aku memang sudah beberapa kali chatan untuk koordinir acara, dan beberapa kali dia yang nggak pernah bisa datang.

“Eh, tapi, jangan-jangan dia dateng tapi mantau ajah? Kok ada sih tipe kayak gini?” Aku sudah sibuk dan heboh sendiri di belakang, perkara terdengar atau tidak sampai depan saja aku sudah tidak terpikir.

***

“Saya kenal puteri bapak adalah pekerja keras dan jiwa sosialnya tinggi. Saya salut pa. Dan sebetulnya saya sudah beberapa kali komunikasi via chat dengan anak bapak namun saya sengaja tidak mau bertemu dengan nya langsung pak.” Bapak mendengarkan dengan mengernyitkan dahi. Aku tahu ini ayah akan banyak pertanyaan dan pertimbangan terlebih memang karena aku adalah anak perempuan satu-satunya.

“Baik, saya salut dengan keberanian kamu mendatangi saya dan cukup unik caramu mengamati anak saya. Kabari saya kapan kamu bisa datang kesini untuk membicarakan melanjutkan ini dan baru kita bicaraan akan bagaimana kedepannya.”

Jadi, ini maksudnya bapak kasih lampu hijau?

***

To be continue…

2 respons untuk ‘Filosofi Udang Part 1

Tinggalkan komentar